Beberapa hari ini tenggorokanku terasa sakit. Rasanya kering. Tiap buka mulut, tenggorokanku sakit. Apalagi kalau dipakai nelan makanan. Sakit banget. Kalau dipaksain ngomong dengan nada agak tinggi langsung dech tenggorokan gatal ingin batuk ngeluarin benda yang mengganjal. Kesiksa banget dech pokoknya.
Berhubung aku malas minum obat, ya aku biarin aja. Ntar juga sembuh sendiri. Tapi kok lama kelaman kayak ada benjolan di tenggorokan.
Jangan-jangan aku kena radang?
Mulai panik nich. Cos, aku kalau lagi sakit rentang waktu sembuhnya sering kali lama. Jadi aku gimana caranya menyembuhkan radang tenggorokanku supaya enggak kian parah.
# Banyak Minum air
Cara pertama yang biasanya cespleng untuk nyembuhin radang tenggorokan yakni banyak-banyakin minum air. Biasanya sih cespleng. Tapi tumben udah berhari-hari pakai terapi ini, enggak sembuh-sembuh juga.
#Kumur-Kumur Pakai Air Hangat Dicampur garam
Aku baca di website, katanya kumur-kumur dengan air hangat dicampur garam manjur untuk meredakan gejala radang. Aku nyoba. Hasilnya langsung terlihat di hari kedua. Masih terasa agak ganjal saat nelan air liur, tapi nyeri menyiksa saat nelan sesuatu berkurang banyak. Tenggorokan juga tidak lagi terasa bengkak dan panas. Berarti cara ini manjur. Aku kumur-kumurnya dua kali sehari. Pagi dan petang.
# Minum vitamin C
Vitamin C itu bagus untuk menjaga ketahanan tubuh. Jadi lekas sembuh. Aku biasanya minum vitamin untuk mengobati berbagai macam penyakit di awal masa inkubasi penyakit. Jika terlewat masanya, jadi lebih susah sembuh.
# minum obat
Jika tiga cara di atas masih gagal, cara terakhir ya pergi ke dokter dan minum obat. Sekali lagi itu cara terakhir. Meski efeknya instan dan manjur, namun tidak disarankan. '_'
Obat itu mengandung berbagai macam zat yang jika dibiarkan menumpuk akan memberi masalah bagi kesehatan tubuh. Makanya pada obat komersil seperti bod**x akan ada tulisan peringatan dan efek samping seperti gangguan pencernaan, insomnia bla bla bla. Terus ada juga peringatan dosis besar pada jangka panjanf akan menyebabkan gangguan fungsi hati. Q_Q
Itu aja tipsnya semoga bermanfaat
Life Is An Adventure
Kebahagiaan bukan hanya tentang berapa banyak jumlah nol dalam rekening bank, tapi kebahagiaan adalah tentang berbagi kebahagiaan pada orang lain.
Senin, 18 November 2019
Sabtu, 14 September 2019
Haul Syekh Abdul Qohar (Sunan Ngampel)
Event besar di bulan Muharram di Kabupaten Blora sudah pasti ziarah para wali atau kyai besar yang berperan besar dalam dakwah Islam di tanah Blora.
Yang paling populer itu Syekh Abdul Qohar atau yang para penduduk Blora menyebutnya Sunan Ngampel karena beliau dimakamkan di Desa Ngampelgading kecamatan Blora. Tolong jangan tertukar dengan sebutan Sunan Ampel salah satu walisongo.
Menurut manuskrip, Sunan Ngampel ini masih memiliki darah biru. Beliau putra Hadiwijaya alias Joko Tingkir yang jadi Sultan Pajang dari istri yang seorang putri dari kerajaan Demak.
Acara haul Syekh Abdul Qohar tahun ini diselenggarakan tanggal 9-14 September 2019.
Seperti biasa acaranya meriah oleh banyaknya para peziarah yang berdoa di makam. Ada yang dari wilayah Blora, daerah Rembang khususnya daerah Bulu-Sulang. Tumplek blek memenuhi area makam hingga puncak acaranya yang diisi dengan pengajian.
Yang umum tiap tahunnya yakni para pedagang mainan, boneka, sepatu-sandal, baju-kaos, kerudung, peralatan masak, dan aksesoris.
Itu yang umum dijual saat ada acara besar. Khusus di acara haul para kyai besar, yang biasanya diburu para peziarah yakni jajanan jenang. Nggak afdol kalau ikutan acara haul kalau nggak beli jenang.
Jajanan jenang ini aslinya dari Kudus. Tapi, penduduk Blora mulai mengembangkan jajanan jenang dengan berbagai rasa seperti jenang isi kelapa, jahe, dan nangka. Tahun ini ada yang baru yakni jenang rasa susu moca dan durian.
Selain jenang, ada juga makanan tradisional lainnya yang ikutan eksis. Yakni kerak telur, makanan khas orang Betawi. Di tahun sebelumnya tahun 2018 para penjual kerak telur cukup banyak bertebaran, tapi tahun ini aku hanya menjumpai dua saja. Telur yang digunakan ada yang telur ayam dan ada pula yang telur bebek. Harganya Rp 15.000,00 yang membuatku enggak mau beli. Uangnya nggak cukup soalnya.
Selain kerak telur, ada pula penjual lontong tuyuhan. Makanan ini khas dari daerah Rembang. Tepatnya Lasem yang konon kisahnya menyangkut cerita Sunan Bonang (kala bermukim di daerah Lasem Rembang) dan Blacak Ngilo yang bermukim di daerah sekitar Cepu-Menden.
Lontong Tuyuhan berisi lontong yang diberi kuah opor dan diberi lauk pauk ayam. Yang membedakan antara lontong tuyuhan dengan lontong sayur yakni cara memjualnya. Lontong tuyuhan dijual dengan cara dikemas dalam keranjang bambu dan para pembelinya dilayani dengan model lesehan di atas tikar. Yang memberi ciri khas yakni alat penerangannya yang berupa lampu teplok dari batang pisang.
Selain makanan tradisional Indonesia ada juga makanan dari negeri Sakura yakni Takoyaki dan makanan khas USA yakni burger dan hotdog. Makanan dari negeri Turki yakni kebab juga eksis.
Selain jenang, aku hanya beli martabak telur kesukaanku dan burger karena Fatich merengek lapar untuk mengganjal perut.
Tahun ini aku cukup puas keliling untuk berburu gourmet kesukaanku dan memuaskan mataku untuk cuci mata walau faktanya hanya sedikit yang ku beli.
Rabu, 11 September 2019
Ziarah ke Makam Putri Cempa dan Makam Sunan Bonang
Terakhir kali aku berziarah ke makam Putri Cempo dan Sunan Bonang ini waktu aku masih SMA tahun 2000. Aku datang bersama rombongan warga kampung naik truk yang baru dibeli ayahku.
Perjalanannya lumayan berat karena di tengah jalan mendadak hujan deras. Tahu sendiri kan gimana truk terbuka itu? Kami langsung kebasahan. Layar plastik warna biru tidak cukup kuat menahan derai air hujan. Kami basah kuyub. Dandanan kami hancur total. Untungnya aku pakai jaket sehingga nggak begitu kedinginan. Beruntung itu ortuku karena beliau duduk bersama sopir. Jadi nggak ikut kehujanan.
Lucunya mendekati areal makam, hujan sudah berhenti dan matahari justru sedang terik-teriknya. Baju yang basah atau lembab sedikit berkurang tingkat kebasahannya.
Begitu datang kami disuguhi oleh undakan yang tinggi nian. Jangan terkejut! Sebab Makam Putri Cempo ini memang berada di atas bukit. Tapi, dibandingkan dengan makam Sunan Muria itu tidak ada apa-apanya. Makam Sunan Muria jauh tinggi di atas gunung Muria. Dijamin keringatan untuk satu perjalanan ke makam.
Makam Putri Cempo dibangun secara sederhana dengan rumah model Jawa bercat kombinasi putih hijau.
Kami datang hari Minggu. Peziarahnya lumayan banyak. Dalam arti selalu ada peziarah, tapi tidak berjubelan penuh sesak seperti situs makam para walisanga.
Di dekat makam Putri Cempo, ada pasujudan Sunan Bonang yang terbuat dari batu. Konon dulunya Sunan Bonang menggunakan sebuah bongkahan batu datar sebagai tempat sholat yang karena seringnya dipakai sujud kepada Allah Swt. Batu tersebut lalu membentuk cetakan sujud.
Areal makam Putri Cempo tidak satu lokasi dengan makam Sunan Bonang. Makam Sunan Bonang berada 300 meter dari makam Putri Cempo. Aku tidak ikut mengunjungi makam Sunan Bonang karena alasan pribadi.
Ada perbedaan antara situs makam Putri Cempo yang aku kunjungi dulu di tahun 2000 dengan yang sekarang (8 September 2019).
Di belakang makam Putri Cempo kami langsung berhadapan dengan bebatuan karang berwarna hitam yang lumayan terjal. Turun ke bawah kami bisa menikmati pantai pasir putih yang indah mempesona lembut membelai kaki.
Pantainya masih bersih. Tidak ada sampah plastik. Tidak seperti Pantai Kartini yang jorok dipenuhi sampah plastik. Kadang-kadang bahkan ada kotoran manusia yang lewat. Jijay bajay. Itu membuatku malas jika diajak ke pantai Kartini. Bukannya senang, pulang-pulang malah bawa penyakit gatal karena air laut yang kotor.
Kata ayahku, saat pantai surut kami bisa melihat batu layar. Konon batu layar ini bagian dari layar pada kapal Dampo Awang yang pecah karena diterjang ombak lautan yang ganas. Layarnya terlempar ke Lasem sedangkan jangkarnya berada di Pantai Kartini dan masih ada hingga kini.
Karena terpesona oleh keindahan pantai kala itu berikut batu karangnya, dengan penuh semangat aku ke belakang Makam Putri Cempo.
Betapa terkejutnya aku mendapati di belakang makam tidak ada batu karang yang cantik, melainkan bukit tanah yang ditanami pepohonan. Jauh di bawah bukit tidak ada pantai pasir putih. Yang ada hanyalah kumpulan sampan nelayan yang bersandar.
Oh God! Perubahannya cepat nian dan drastis. Pantai yang cantik diuruk tanah menjadi bukit hijau. Jujur aku kehilangan. Pantai cantik secantik pantai Sanur hilang begitu saja.
Perjalanannya lumayan berat karena di tengah jalan mendadak hujan deras. Tahu sendiri kan gimana truk terbuka itu? Kami langsung kebasahan. Layar plastik warna biru tidak cukup kuat menahan derai air hujan. Kami basah kuyub. Dandanan kami hancur total. Untungnya aku pakai jaket sehingga nggak begitu kedinginan. Beruntung itu ortuku karena beliau duduk bersama sopir. Jadi nggak ikut kehujanan.
Lucunya mendekati areal makam, hujan sudah berhenti dan matahari justru sedang terik-teriknya. Baju yang basah atau lembab sedikit berkurang tingkat kebasahannya.
Begitu datang kami disuguhi oleh undakan yang tinggi nian. Jangan terkejut! Sebab Makam Putri Cempo ini memang berada di atas bukit. Tapi, dibandingkan dengan makam Sunan Muria itu tidak ada apa-apanya. Makam Sunan Muria jauh tinggi di atas gunung Muria. Dijamin keringatan untuk satu perjalanan ke makam.
Makam Putri Cempo dibangun secara sederhana dengan rumah model Jawa bercat kombinasi putih hijau.
Kami datang hari Minggu. Peziarahnya lumayan banyak. Dalam arti selalu ada peziarah, tapi tidak berjubelan penuh sesak seperti situs makam para walisanga.
Di dekat makam Putri Cempo, ada pasujudan Sunan Bonang yang terbuat dari batu. Konon dulunya Sunan Bonang menggunakan sebuah bongkahan batu datar sebagai tempat sholat yang karena seringnya dipakai sujud kepada Allah Swt. Batu tersebut lalu membentuk cetakan sujud.
Areal makam Putri Cempo tidak satu lokasi dengan makam Sunan Bonang. Makam Sunan Bonang berada 300 meter dari makam Putri Cempo. Aku tidak ikut mengunjungi makam Sunan Bonang karena alasan pribadi.
Ada perbedaan antara situs makam Putri Cempo yang aku kunjungi dulu di tahun 2000 dengan yang sekarang (8 September 2019).
Di belakang makam Putri Cempo kami langsung berhadapan dengan bebatuan karang berwarna hitam yang lumayan terjal. Turun ke bawah kami bisa menikmati pantai pasir putih yang indah mempesona lembut membelai kaki.
Pantainya masih bersih. Tidak ada sampah plastik. Tidak seperti Pantai Kartini yang jorok dipenuhi sampah plastik. Kadang-kadang bahkan ada kotoran manusia yang lewat. Jijay bajay. Itu membuatku malas jika diajak ke pantai Kartini. Bukannya senang, pulang-pulang malah bawa penyakit gatal karena air laut yang kotor.
Kata ayahku, saat pantai surut kami bisa melihat batu layar. Konon batu layar ini bagian dari layar pada kapal Dampo Awang yang pecah karena diterjang ombak lautan yang ganas. Layarnya terlempar ke Lasem sedangkan jangkarnya berada di Pantai Kartini dan masih ada hingga kini.
Karena terpesona oleh keindahan pantai kala itu berikut batu karangnya, dengan penuh semangat aku ke belakang Makam Putri Cempo.
Betapa terkejutnya aku mendapati di belakang makam tidak ada batu karang yang cantik, melainkan bukit tanah yang ditanami pepohonan. Jauh di bawah bukit tidak ada pantai pasir putih. Yang ada hanyalah kumpulan sampan nelayan yang bersandar.
Oh God! Perubahannya cepat nian dan drastis. Pantai yang cantik diuruk tanah menjadi bukit hijau. Jujur aku kehilangan. Pantai cantik secantik pantai Sanur hilang begitu saja.
Minggu, 08 September 2019
Bermain di Pantai Karang Jahe Kabupaten Rembang
Tengah malam lagi istirahat, eh tiba-tiba Lek Pan (Suripan) adik ayahku yang kedua datang. "Besok mau ikut ke Karang Jahe?"
Sontak aku jawab, "Mau."
"Kalau muat kamu ikut. Kalau nggak muat ya anakmu saja, Fatich yang ikut. Nanti aku pangku."
"Oh."
Dibilangin gitu, jelas harapanku kempes. Udah negatif thinking duluan. Kayaknya mustahil aku diikut sertakan. So.. paginya aku enggak siap-siap. Sama sekali.
Aku hanya mendadani putraku dan menyiapkan handuk, baju ganti, peralatan mandi ama uang saku. Jam 7 pagi tepat aku anterin ke rumah Pak Lekku.
Eh nggak tahunya jam 7.30 anakku datang "Bu bisnya udah datang. Ibu siap-siap."
"Hah!" Aku jejeritan kalang kabut. Jantungku seperti mau lompat karena serangan panik. Cepat-cepat mandi dan nyelesein nyucinya. Untungnya, dalam waktu setengah jam dengan kecepatan kilat aku berhasil mandi, dandan, nyiapin barang-barangku sekalian jemur pakaian. Itu record. Karena biasanya aku butuh waktu sejam untuk mandi plus nyuci.
Dan, untungnya yang nyiapin bekal masakan untuk kami sarapan nanti gagal, jadi aku punya tambahan waktu ekstra.
Jam 9 tepat akhirnya kami serombongan berangkat. Kami dibagi menjadi dua. Ada yang naik bis dan ada yang naik mobil. Aku termasuk yang naik bus. Jumlahnya ada 30 orang termasuk sopir.
Sepanjang jalan, ada tiga orang anak yang mabuk. Biar nggak mabuk Fatich aku larang lihat. Biar nggak ketularan.
Jam 10 kami sampai di pantai Karang Jahe. Kami bayar tiket Rp 25.000,00
Kami langsung menyerbu pantai. Kami menyewa 3 perahu karet. Anak-anak sibuk naik perahu karet di perairan yang dangkal. Jika udah menuju tempat yang agak dalam, aku menyuruh mereka balik. Aku kan nggak bisa berenang. Begitu pula anak-anak. Kalau tenggelam gimana?
Habis itu naik kapal nelayan mengelilingi pantai Karang Jahe dari ujung ke ujung, tapi hanya pada perairan dangkal. Kira-kira sedalam pria dewasa.
Ada penjelasan singkat sang juru kemudi kapal. Ia nunjul kayu terapung yang dihiasi bendera merah putih. Warna lautnya berbeda dengan sekitarnya. Warnanya cokelat muda.
"Itu dulunya jalan darat yang jadi penghubung antara Jawa dan Kalimantan."
Berarti teori jika Indonesia dulunya satu daratan dengan Malaysia itu mungkin ada benarnya.
Usai naik kapal, kami nyari kerang, bintang laut, dan karang. Cangkang kerang nemu banyak. Aku ketemu kol nenek (keong laut) yang masih hidup. Ada juga ubur-ubur laut yang masih hidup warna putih. Kami berhati-hati biar nggak terkena sengat karena berakibat gatal dll.
Sayangnya kami nggak nemu bintang laut. Kerang hijau juga nggak kelihatan. Beda dengan yang Pantai Kartini ada banyak menempel pada batu karang besar yang ada menghiasi pantai.
Meski tanpa karang yang cantik yang jadi ciri khas sebuah pantai, Pantai Karang Jahe tetap mempesona. Pantainya putih bersih dihiasi tanaman cemara yang berbaris rapi sepanjang pantai. Yang membuatku terkesan, pantainya bersih dan rutin dibersihkan. Jadi nyaman buat main.
Sontak aku jawab, "Mau."
"Kalau muat kamu ikut. Kalau nggak muat ya anakmu saja, Fatich yang ikut. Nanti aku pangku."
"Oh."
Dibilangin gitu, jelas harapanku kempes. Udah negatif thinking duluan. Kayaknya mustahil aku diikut sertakan. So.. paginya aku enggak siap-siap. Sama sekali.
Aku hanya mendadani putraku dan menyiapkan handuk, baju ganti, peralatan mandi ama uang saku. Jam 7 pagi tepat aku anterin ke rumah Pak Lekku.
Eh nggak tahunya jam 7.30 anakku datang "Bu bisnya udah datang. Ibu siap-siap."
"Hah!" Aku jejeritan kalang kabut. Jantungku seperti mau lompat karena serangan panik. Cepat-cepat mandi dan nyelesein nyucinya. Untungnya, dalam waktu setengah jam dengan kecepatan kilat aku berhasil mandi, dandan, nyiapin barang-barangku sekalian jemur pakaian. Itu record. Karena biasanya aku butuh waktu sejam untuk mandi plus nyuci.
Dan, untungnya yang nyiapin bekal masakan untuk kami sarapan nanti gagal, jadi aku punya tambahan waktu ekstra.
Jam 9 tepat akhirnya kami serombongan berangkat. Kami dibagi menjadi dua. Ada yang naik bis dan ada yang naik mobil. Aku termasuk yang naik bus. Jumlahnya ada 30 orang termasuk sopir.
Sepanjang jalan, ada tiga orang anak yang mabuk. Biar nggak mabuk Fatich aku larang lihat. Biar nggak ketularan.
Jam 10 kami sampai di pantai Karang Jahe. Kami bayar tiket Rp 25.000,00
Kami langsung menyerbu pantai. Kami menyewa 3 perahu karet. Anak-anak sibuk naik perahu karet di perairan yang dangkal. Jika udah menuju tempat yang agak dalam, aku menyuruh mereka balik. Aku kan nggak bisa berenang. Begitu pula anak-anak. Kalau tenggelam gimana?
Habis itu naik kapal nelayan mengelilingi pantai Karang Jahe dari ujung ke ujung, tapi hanya pada perairan dangkal. Kira-kira sedalam pria dewasa.
Ada penjelasan singkat sang juru kemudi kapal. Ia nunjul kayu terapung yang dihiasi bendera merah putih. Warna lautnya berbeda dengan sekitarnya. Warnanya cokelat muda.
"Itu dulunya jalan darat yang jadi penghubung antara Jawa dan Kalimantan."
Berarti teori jika Indonesia dulunya satu daratan dengan Malaysia itu mungkin ada benarnya.
Usai naik kapal, kami nyari kerang, bintang laut, dan karang. Cangkang kerang nemu banyak. Aku ketemu kol nenek (keong laut) yang masih hidup. Ada juga ubur-ubur laut yang masih hidup warna putih. Kami berhati-hati biar nggak terkena sengat karena berakibat gatal dll.
Sayangnya kami nggak nemu bintang laut. Kerang hijau juga nggak kelihatan. Beda dengan yang Pantai Kartini ada banyak menempel pada batu karang besar yang ada menghiasi pantai.
Meski tanpa karang yang cantik yang jadi ciri khas sebuah pantai, Pantai Karang Jahe tetap mempesona. Pantainya putih bersih dihiasi tanaman cemara yang berbaris rapi sepanjang pantai. Yang membuatku terkesan, pantainya bersih dan rutin dibersihkan. Jadi nyaman buat main.
Kamis, 13 Agustus 2015
PARADE BARONGAN
Biasanya
tiap 17-an Agustus, masyarakat Blora merayakannya dengan karnaval,
iring-iringan peserta berpakaian adat dari suku-suku yang ada di seluruh
Indonesia, membuat berbagai macam bentuk teknologi terbaru seperti pesawat
terbang, kereta kencana, dll. Tapi tahun ini berbeda. Tahun ini HUT Kemerdekaan
RI dirayakan dengan parade barongan saja.
Kenapa ngambil tema Barongan dan
bukannya pekan budaya dan bhineka tunggal ika seperti biasanya, usut punya usut
ternyata ada hubungannya dengan PILKADA yang sudah dekat. Pertimbangan Pilkada
membuat mereka memilih untuk mengadakan parade barongan yang tidak banyak makan
biaya, waktu, dan tenaga, tapi tetap meriah. Sekalian juga promosi budaya
Barongan dari Blora.
Well memang sih, barongan itu bukan
milik Blora saja, tapi hampir di tiap daerah Jawa Tengah-Timur ada beberapa
budaya yang 11-12 dengan Barongan juga. Akan tetapi, barongan Blora memiliki
ciri khas yang membedakannya dengan daerah lain sehingga cap Barongan milik
Blora dianggap sah.
Ntar, para peserta berpakaian ala
barongan, sedikit menunjukkan atraksi kebolehan dalam bermain barongan untuk
dinilai para juri lalu jalan kaki dari Alun-alun sampai GOR. Kabarnya parade
Barongan ini diikuti oleh sekolah-sekolah dari tingkat SMP hingga SMU seluruh
Kabupaten Blora. Otomatis jalanan nanti bakal ramai banget. Pantas dalam
spanduknya disebut Banjir Barongan.
Sebagai pencinta Blora, aku pasti
nonton. Mungkin aku nanti nonton di depan klenteng seperti biasanya, atau
langsung di depan SMP 6, sekalian liat atraksinya. Lihat ntar ajalah.
Selasa, 04 Agustus 2015
GADESO HARI JADI DUKUH KRABYAKAN
Hari Jadi dukuh tempat kami tinggal sebentar lagi tiba. Perangkat desa sudah bersiap menyambut hari ulang tahun dukuh kami yang entah yang keberapa. Mereka sudah rrapat mengenai kegiatan apa saja yang akan kami lakukan. Apapun kegiatannya yang paling utama pasti acara pertunjukan Ketoprak. Oh itu sudah wajib hukumnya.
Konon, dari cerita para pendahulu kami, si Bahurekso pelindung desa kami yang tinggal di salah satu pohon di dekat sumur tua di sebelah utara kampung, selalu minta diadakan pertunjukan ketoprak jika hari jadi dukuh kami tiba. Jika tidak? Akan dipastikan, ia akan berbuat ulah macam-macam dan nantinya akan mencelakakan para penduduk desa.
Kami Lebay???
Oh, tidak. Kami tidak lebay. Kami bicara berdasarkan fakta. Dari hasil penelusuran amatir pembimbing kami didapat beberapa fakta yang bisa dibuktikan kebenarannya. (dari cerita para tetua yang hidup kala itu dan satu sama lain tidak ada perbedaan. Jadi bisa dijamin kebenarannya. Baca niru metode periwayatan hadits gitu ceritanya):
1. Pernah diadakan acara tanggapan pengajian dan mengundang salah satu Kyai untuk mengisi acara Gadeso. Beberapa hari kemudian ada salah satu penduduk desa seorang wanita berinisial S dikabarkan gila.
2. Pernah diadakan pertunjukan wayang kulit. Eh, dalangnya malah diceburin si jin penunggu desa ke sumur setelah sebelumnya dicekik dan tenggorokannya sampai benjol.
Berdasarkan fakta itulah, Pasti tahun ini pun acara utamanya akan ada ketoprak lagi.
Kalau udah gitu bisa dipastikan desa kami bakal ramai tuh. Hampir mirip seperti pasar malam. Apapun itu kami senang-senang aja. Kan jarang-jarang ada pertunjukan Ketoprak secara live di desa kami kalau tidak ada event Gadeso seperti ini.
Hanya satu hal yang membuat kami agak sedih. Kami kemungkinan besar, kami tak bisa ikut tampil dalam rangka partisipasi sumbangan anak-anak pada saat acara -H nanti dikarenakan acaranya gosipnya dimulai jam 8. Waktunya terlalu mepet soalnya.
Padahal kami ingin tampil untuk menunjukkan eksistensi kelompok kami setelah sebelumnya kami berhasil menjadi salah satu pengisi acara perpisahan kelas 6 lalu. Tapi ya Sutralah. Kami masih bisa memanfaatkan event lainnya kan?
Langganan:
Postingan (Atom)