Rabu, 11 September 2019

Ziarah ke Makam Putri Cempa dan Makam Sunan Bonang

Terakhir kali aku berziarah ke makam Putri  Cempo dan Sunan Bonang ini waktu aku masih SMA tahun 2000. Aku datang bersama rombongan warga kampung naik truk yang baru dibeli ayahku.

Perjalanannya lumayan berat karena di tengah jalan mendadak hujan deras. Tahu sendiri kan gimana truk terbuka itu? Kami langsung kebasahan. Layar plastik warna biru tidak cukup kuat menahan derai air hujan. Kami basah kuyub. Dandanan kami hancur total. Untungnya aku pakai jaket sehingga nggak begitu kedinginan. Beruntung itu ortuku karena beliau duduk bersama sopir. Jadi nggak ikut kehujanan.

Lucunya mendekati areal makam, hujan sudah berhenti dan matahari justru sedang terik-teriknya. Baju yang basah atau lembab sedikit berkurang tingkat kebasahannya.

Begitu datang kami disuguhi oleh undakan yang tinggi nian. Jangan terkejut!  Sebab Makam Putri Cempo ini memang berada di atas bukit. Tapi, dibandingkan dengan makam Sunan Muria itu tidak ada apa-apanya. Makam Sunan Muria jauh tinggi di atas gunung Muria. Dijamin keringatan untuk satu perjalanan ke makam.

Makam Putri Cempo dibangun secara sederhana dengan rumah model Jawa bercat kombinasi putih hijau.

Kami datang hari Minggu. Peziarahnya lumayan banyak. Dalam arti selalu ada peziarah, tapi tidak berjubelan penuh  sesak seperti situs makam para walisanga.



Di dekat makam Putri Cempo, ada pasujudan Sunan Bonang yang terbuat dari batu. Konon dulunya Sunan Bonang menggunakan sebuah bongkahan batu datar sebagai tempat sholat yang karena seringnya dipakai sujud kepada Allah Swt. Batu tersebut lalu membentuk cetakan sujud.



Areal makam Putri Cempo tidak satu lokasi dengan makam Sunan Bonang. Makam Sunan Bonang berada 300 meter dari makam Putri Cempo. Aku tidak ikut mengunjungi makam Sunan Bonang karena alasan pribadi.

Ada perbedaan antara situs makam Putri Cempo yang aku kunjungi dulu di tahun 2000 dengan yang sekarang (8 September 2019).

Di belakang makam Putri Cempo kami langsung berhadapan dengan bebatuan karang berwarna hitam yang lumayan terjal. Turun ke bawah kami bisa menikmati pantai pasir putih yang indah mempesona lembut membelai kaki.

Pantainya masih bersih. Tidak ada sampah plastik. Tidak seperti Pantai Kartini yang jorok  dipenuhi sampah  plastik. Kadang-kadang bahkan ada kotoran manusia yang lewat. Jijay bajay. Itu membuatku malas jika diajak ke pantai Kartini. Bukannya senang, pulang-pulang malah bawa penyakit gatal karena air laut yang kotor.

Kata ayahku, saat pantai surut kami bisa melihat batu layar. Konon batu layar ini bagian dari layar pada kapal Dampo Awang yang pecah karena diterjang ombak lautan yang ganas. Layarnya terlempar ke Lasem sedangkan jangkarnya berada di Pantai Kartini dan masih ada hingga kini.

Karena terpesona oleh keindahan pantai kala itu berikut batu karangnya, dengan penuh semangat aku ke belakang Makam Putri Cempo.

Betapa terkejutnya aku mendapati di belakang makam tidak ada batu karang yang cantik, melainkan bukit tanah yang ditanami pepohonan. Jauh di bawah bukit tidak ada pantai pasir putih. Yang ada hanyalah kumpulan sampan nelayan yang bersandar.

Oh God! Perubahannya  cepat nian dan drastis. Pantai yang cantik diuruk tanah menjadi bukit hijau. Jujur aku kehilangan. Pantai cantik secantik pantai Sanur hilang begitu saja.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar